"Memimpin adalah Menderita. Pepatah kuno Belanda itu dikutip oleh Mohammad Roem dalam karangannya berjudul "Haji Agus Salim, Memimpin adalah Menderita" (Prisma No 8, Agustus 1977)."Karangan itu mengisahkan keteladanan K.H Agus Salim.

Apa boleh buat? Dalam buku ini banyak pengalaman leadership talk yang harus dipelajari oleh para kaula muda dan secara garis besar (menurut saya) buku ini dibagi menjadi tiga bagian besar yang harus dibaca baik-baik dan diamalkan dalam hidup.

Agus Salim dikenal sebagai salah satu tokoh perjuangan nasional. Ia diplomat ulung dan disegani, namun sangat sederhana dan sangat terbatas dari sisi materi. Jika dicermati, ungkapan tersebut sangat sarat makna. Memimpin adalah amanah bukan hadiah. Memimpin adalah sacrificing, bukan demanding. Memimpin adalah berkorban, bukan menuntut.

Mengukur jiwa kepemimpinan Hampir semua program beasiswa bertujuan mencari calon pemimpin masa depan. Mereka adalah para pemuda yang diharapkan akan duduk di kursi kemudi dan mengantarkan bangsa ini menuju bangsa yang berdaya saing dan bermartabat di 100 tahun usia kemerdekaannya. Hal itu tentu tidak mudah. Mengukur nilai sebuah motivasi, dan jiwa kepemimpinan tidaklah semudah mengukur kemampuan bahasa Inggris atau mengukur kemampuan kognitif dan akademis. Bahkan "alat ukur" bernama motivation statement dan wawancara sekalipun bisa meleset.

Siapa bisa menjamin kalau suatu motivation statement yang sangat artikulatif dan membuat tim seleksi kepincut tiba-tiba berubah menjadi sejumlah pertanyaan dan hitung-hitungan seputar hak yang diterima sebagai penerima beasiswa? Siapa dapat menjamin kalau pernyataan-pernyataan patriotik dan idealis yang disampaikan dengan bersemangat pada saat wawancara tiba-tiba berubah menjadi pertanyaan seputar kepentingan pribadi yang mengedepankan unsur cost-benefit semata? Zona nyaman Memimpin adalah berkorban.

Demikian pula untuk para pelajar yang bersiap meneruskan studinya di luar negeri. Diperlukan pengorbanan utama, yakni kerelaan meninggalkan zona nyamannya (comfort zone). Bung Hatta tidak akan jadi tokoh besar jika hanya sibuk menghitung-hitung besar uang saku yang diterima dari Yayasan Van Deventer yang memberinya beasiswa. Hatta rajin menulis di beberapa surat kabar di Belanda pada saat studi di sana. Itu ia lakukan bukan hanya untuk menyalurkan buah pikirnya, tapi juga untuk tambahan uang saku. Pun, Habibie tidak akan jadi tokoh besar kalau dia memutuskan untuk tidak meninggalkan ibu yang sangat dicintainya. Padahal, kedekatan Habibie dengan sang ibu sangat kuat, terutama sejak ayahnya wafat.

Jadi, meninggalkan zona kenyamanan berarti harus rela meninggalkan pekerjaan, jabatan dan peluang dipromosikan. Juga, harus rela meninggalkan anak yang masih kecil dan sedang lucu-lucunya atau berpisah dengan pasangan yang baru dinikahi beberapa minggu. Atau, terpaksa harus mengikuti gaya long distance relationship (LDR) dengan sang pacar.

Meninggalkan zona kenyamanan juga berarti rela meninggalkan kenyamanan dan "kemewahan" lain, seperti matahari yang bersinar selama 365 hari setahun, yang diganti dengan langit suram dan angin kencang. Harus rela melepaskan nikmatnya mie tek-tek yang setiap malam lewat di depan rumah. Semua itu digantikan dengan roti keras dan irisan keju. Mereka yang beragama Islam pun harus rela melepaskan nikmatnya sholat ied bersama keluarga di hari raya dan digantikan dengan sahur sendirian selama sebulan penuh. Lebaran pun jauh dari keluarga dan opor ayam yang nikmat dan lezat. Semua kerelaan dan kemampuan meninggalkan zona kenyamanan itulah yang menjadi satu faktor kunci dalam meraih suatu kesuksesan.

Berani? Tidak, tidak ada pemimpin hebat yang lahir di zona nyaman.

Nothing great comes from a comfort zone! 
(Tidak ada pencapaian hebat yang lahir dari zona nyaman.) 
"Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku". Itulah petikan pidato pembelaan Bung Hatta dalam "Indonesia Vrij" pada 22 Maret 1928 di mahkamah pengadilan di Den Haag, Belanda.

1. KISAH KEPEMIMPINAN BERAWAL

Pada bagian-bagian awal Dea menuliskan bagaimana kepemimpinan tersebut berawal. Jabatan bisa diwariskan namun kepemimpinan berasal dari perkembangan mentalitas seseorang yang tidak bisa dibangun dalam sekejap. Butuh ratusan hari dan ribuan tantangan untuk menjadikan seseorang menjadi pemimpin. Beberapa mental pemimpin yang sempat dibahas Dea dalam bukunya adalah tentang pemimpin yang MELAYANI, memiliki SENSE OF MORALITY, BERANI dan BERSAHAJA. Dea menjabar setiap mentalitas dengan merujuk kepada pempimpin-pemimpin besar di dunia. Mulai dari pemimpin yang terkemuka dari kalangan agama, pemerintah hingga pimpinan perusahaan-perusahaan multicompany.

2. MENTAL DAN AKSI SEORANG PEMIMPIN

Pada bagian selanjutnya, Dea menjelaskan tentang AKSI. Seorang pemimpin dengan mental paling baik sekalipun tidak akan pernah menjadi true leader ketika ia tidak beraksi bukan? Bisa dibilang bahwa aksi ditentukan oleh mentalitas seseorang. Ketika seseorang dengan mentalitas mudah menyerah, ia akan memilih mundur (aksi) ketika berhadapan dengan tantangan. Mentalitas seorang pemimpin akan menentukan bentuk aksi dari kepemimpinannya tersebut. Seorang pemimpin tersebut harus BERBICARA. Bukan pembicaraan omong kosong melainkan sebuah kebenaran, tidak berkata apa yang tidak ia laksanakan. Pemimpin harus rela MENINGGALKAN KENYAMANAN dan BERJUANG untuk mewujudkan impian mereka. Pemimpin juga harus mempunyai VISI BESAR dan menjadi manusia yang BERNILAI karena ia adalah penunjuk jalan bagi pengikut-pengikutnya.

3. INSPIRASI TOKOH

Pada bagian akhir, Dea memberikan percikan inspirasi melalui kisah para pemimpin dunia. Berasal dari berbagai kalangan, kelompok, usia dan jenis kelamin. Bagi saya, membaca Leiden yang dituliskan Dea ini, seperti membaca rangkuman kisah keteladanan para pemimpin besar dunia. Dea bercerita tentang Rasulullah, Mahatman Gandhi, Moh. Nasir, Soekarno-Hatta, Agus Salim, Obama, Hugo Chavez, Marcus Tulius Cicero dan banyak deretan nama pemimpin lainnya yang sebagian asing di telinga saya. Jelas hal ini menjadikan Leiden sebagai paket hemat. Hemat waktu karena bisa mengetahui kisah kepemimpinan tanpa harus membaca biografi nama-nama yang saya sebutkan di atas satu per satu. Hemat biaya karena buku biografi tetap dibeli dengan uang. Menjelaskan kepemimpinan melalui kisah para tokoh yang memang sudah terbukti kepemimpinannya, juga membuat buku ini jauh dari kesan menggurui. Terkadang (menurut saya) membaca buku yang terlalu sibuk mengungkap teori justru membuat sebuah buku tersebut membosankan.

Kepemimpinan tentang AKSI bukan? Bukan hanya sekedar TEORI.