Siapa yang disini suka dengan Pasar Malam? Seingatku rasanya sudah lama sekali aku tidak hadir dan jarang menjumpai keberadaan pasar malam. Tempat hiburan yang biasa didatangi oleh mayoritas masyarakat kelas ekonomi menengah kebawah ini, yang sangat suka hiruk pikuk, jajanan murah meriah, permainan dan wahana yang tidak bisa kita temui di mal-mal besar yang bisa digunakan bergantian sampai kita mulai merasa bosan bermain disana dan dibuka sampai menjelang tengah malam itu. Banyak sekali hal yang kita bisa jumpai disana dan mengajak siapapun yang kita mau untuk berduyun-duyun merasakan keramaian ditengah hal itu. Lalu kemudian esok paginya semua mendadak sepi dan sirna, hanya lapangan kosong juga sampah berserakan yang belum dibersihkan oleh petugas kebersihan disana. Laantas apa hubungannya dengan Buku yang hendak ingin di review ini? Mari kita ulas bukunya.

Penulis buku Bukan Pasar Malam ini adalah karya Pramoedya Ananta Toer. Penulis fenomenal dengan karyanya Tetralogi Buru, kemudian Buku Bumi Manusia yang berakhir diangkat di layar kaca oleh Hanung Bramantyo dan diperankan oleh Kembaranku, Iqbal Ramadhan (canda kembaran). Namanya kerapkali disandingkan dengan kata penjara karena memang Pram, sudah berkali-kali beliau dipenjarakan oleh rezim karena banyak hal, salah satunya karya dari buku tulisan ini. Isi tulisan yang bersemangat agaknya cukup merisaukan penguasa pada jamannya itu. Bahkan di jaman order baru, buku ini dilarang untuk dibaca apalagi dijual serta mengadakan acara bedah buku, tidak akan mungkin bak mimpi disiang bolong. Namun setelah reformasi, karya-karyanya Pramoedya bisa kita jumpai di toko buku nasional yang sering kita jumpai setiap sekolah tingkat akhir untuk beli buku Ujian Nasional atau di pasar loakan (bekas).

Oke, lanjut ke buku yang satu ini yang jelas jauh lebih tipis dan jauh lebih sensitif dari buku-buku lainnya karya Pramoedya Ananta Toer. Buku yang dapat dibilang novel ini, hanya berisikan 104 halaman. Tipis memang jika dibandingkan dengan buku Tetralogi Buru yang beratus-ratus halaman dan berjilid-jilid. Buku yang mengangkat cerita tentang seorang ayah yang dulunya seorang pejuang kemerdekaan yang bisa dibilang kecewa karena tak mendapatkan tempat yang layak ketika kemerdekaan yang diperjuangkannya dulu dengan penuh pengorbanan itu sudah terwujud dan kini dirinya hanya bisa pasrah digrogoti dengan penyakit TBC yang dideritanya. Dimana pada jaman itu, masih jauh dari sejahtera dan dunia kedokteran masih jauh perkembangannya untuk bisa menyembuhkan jenis penyakit itu. Kalaupun ada, biayanya sangat mahal dan hanya ada di kota-kota besar. Sedangkan ayahnya ini tinggal disebuah kampung di Blora, yang tentu saja jauh dari hiruk pikuk tersebut.

Cerita ini dimulai saat anaknya beliau yang tinggal diperkotaan mendapatkan telegram dari salah satu pamannya kalau Ayahnya sudah sekarat, terbaring lemah didalam rumahnya yang mau ambruk. 

“Kalau bisa, pulanglah engkau ke Blora untuk dua atau empat hari. Ayahmu sakit. Tadinya malaria dan batuk. Kemudian ditambah dengan embeien. Akhirnya katahuan beliau kena tbc. Ayahmu ada di rumahsakit sekarang, dan telah empat kali memuntahkan darah.”

Hingga pada akhirnya, Anaknya pulang bersama istrinya yang memiliki watak Sunda (bawel banget, perhitungan, selain itu rewel kayak males banget lama-lama di desa). Setelah anaknya sampai, ia tertegun dan seidh melihat kondisi ayahnya dulu dan sekarang kini jelas berbeda. Badan kurus, mata dan tenggorokan kering, muka pucat, suara yang telah kehilangan gagahnya hanya bisa berbaring dan sesekali batuk hebat mengeluarkan darah. Jelas kontras sekali dengan penglihatan dibayangannya beberapa tahun belakangan lalu, sosok ayah kini telah berubah.

Konflik pergulatan batin juga tersirat didalam buku ini, yang menceritakan dua adiknya. Si Bungsu, paling kecil dengan sifatnya pendiam dan hobi menangis, mungkin karena tidak bisa melakukan banyak hal di usianya dengan Kaka si Bungsu, Adik perempuannya yang juga sakit parah dan menyalahkan semua penyakit yagn dideritanya itu karena ayahnya. Bisa dibilang, cerita dari buku ini lebih banyak berfokus pada kisah hidup sang ayah yang dimana seorang guru, bukan ulama ataupun profesi lainnya. Yang dikenal ayahnya dulu adalah seorang gerilyawan pada masa penjajahan. Beliau ikut berperang mengusir penjajah pada jamannya. Namun kita terbaring lemah menunggu giliran dirinya dipanggil.

Konflik lainnya adalah setelah kemerdekaan berhasil diraih, kini ayahnya harus menemui realita yang tak sanggup dipikulnya. Beliau melihat kawan-kawannya yang dulu ikut berperang, sibuk berebut kekuasaan dan harta. Sedangkan Ayahnya tetap idealis dan memilih menjadi guru, membawa anak-anak didiknya dalam nuansa patriotisme. Beliau tak sanggup berontak dan tidak memiliki kekuatan atas kelakuan kawan-kawannya dan apa yang telah terjadi pasca kemerdekaan. Yang bisa dilakukannya hanya memendam semua kekecewaan itu hingga jatuh sakit dan divonis TBC akut yang dideritanya.. 

Inti dari cerita novel ini, adalah tentang bagaimana kita sebagai anak harusnya sadar, meski kita akan meninggalkan orangtua kita kelak dengan menikah atau merantau untuk sekolah bahkan bekerja gimanapun orangtuanya itu tetap orangtuanya. Selama ini, anaknya terlalu picik bahwa dulu peran orangtuanya yang berjasa sudah bantu koloni juga ikut membantu memerdekakan Indonesia, meski lewat jalur yang kotor. Bahkan beberapa kali dikisahkan selama perang kemerdekaan itu, dirinya, ibu juga para adiknya itu seringkali ditinggalkan begitu saja. Semestinya mendapat perlakuan mulia dari negaranya yang dibela ayahnya hingga mati-matian itu. Namun ternyata sebaliknya, keluarganya jatuh miskin, kelaparan, sakit bahkan sampai ibunya meninggal. Belum lagi gaji guru dari dulu sampai sekarang masih jauh dari kata sejahtera, kecuali jjika mereka telah diangkat sebagai PNS. 

Kalau dilihat dan fahami bersama, sebenarnya anaknya itu kesal dengan sikap bapaknya karena terkesan selalu menomorsatukan kebahagiaan orang-orang lain daripada keluarganya sendiri. Hingga akhirnya dirinya sadar, ternyata kekayaan itu semu dan momen dimana ayahnya meninggal ternyata banyak sekali orang-orang disekitar yang tidak dikenalnya itu perlahan-lahan mulai menceritakan pengalaman dan kejadian yang dialami bersama ayahnya kepada si Anak mulai dari ayahnya yang menolak saat dirawat dirumah sakit bahkan saat banyak kerabat yang melawat Ayahnya meninggal, Sebab, selama ayahnya sakit memang sengaja bilang kekeluarganya bahwa tidak boleh ada yang menjenguk dirinya karena sebetulnya bapaknya yang melarang, juga mungkin karena takut tertular. Berikut cuplikan kutipannya:

"Sore itu dengan perlahan saja datang. Dan di kala matahari hampir saja lenyap di ufuk barat, datanglah tamu baru. Katanya : "Aku sudah lama kenal betul marhum ayah Tuan. Kami dulu mengembara menjalankan tugas di daerah gerilya....."
Barangkali sudah cukupkah apa yang kukatakan. Tidak kurang dan tidak lebih. Benar, ayah Tuan gugur di lapangan politik. Ayah Tuan mengundurkan diri dari partai dan segala tetek-bengek agar bisa menghindari manusia-manusia badut pencuri untung itu. Tapi karena perhatiannya pada masyarakat terlalu besar itulah ia tak bisa melepaskan diri betul-betul dari semuanya itu. Tapi Tuan hendaknya merasa bangga punya ayah seperti marhum, Bukan?” ia memandangku.

Selanjutnya, Nilai positifnya yang kita dapat, Sosok ayahnya ini sangat dihormati, disegani dan masyarakat baru terasa kehilangan ketika ayahnya meninggal, seperti pahlawan yang dirindukan keberadaannya dan diingat jasa perjuangannya dulu. Dan dari kematiannya itu tersebut, selalu ingat, bahwa apa yang kita tanam hari ini, sejak muda itulah yang akan kita tuai dimasa depan saat kita tua. Kadangkala apa yang terlihat sekilas oleh mata belum tentu yang sebenarnya, seperti yang dirasa didalam hati.
“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pada kembali pulang… seperti dunia dalam pasarmalam. Seorang-seorang mereka datang… dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana."
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa novel Bukan Pasar Malam adalah karya Pram yang luar biasa dipersembahkan Pram kepada para pahlawan tanpa tanda jasa, para guru yang tak dapat disangkal turut berperan besar pada proses kemerdekaan bangsa ini tapi juga tak mendapat perhatian dan tempat yang sepantasnya pasca kemerdekaan. 

Inilah novel yang tak sekadar kisah duka, kematian atau kekecewaan seorang pejuang kemerdekaan, tapi lebih dari itu adalah kisah seorang guru pejuang yang bangga dengan predikat guru sebagai salah satu unsur penting dalam membebaskan bangsa dan tanah air dari ketidakmerdekaan akibat penjajahan kolonialisme.

Dan pesan yang lain jelas, sang guru gugur bukan karena semata-mata kecewa tapi dalam pengertian nilai perjuangan yang baru yaitu gugur di lapangan politik. Poin lainnya, menyadarkan kita bahwa perlu kesungguhan untuk memegang prinsip dan berani angkat suara adalah dua hal yang sama pentingnya. Seperti salah satu kutipan penulis "bahwa kebenaran itu tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar."

“…Hanya yang bisa kukatakan dengan pasti, dan barangkali inilah yang tak Tuan ketahui, ialah: ayah Tuan gugur di lapangan politik.” (h. 102) Pernyataan gugur di lapangan politik itu pun diulangi kembali: “Benar, ayah Tuan gugur di lapangan politik. Ayah Tuan mengundurkan diri dari partai dan segala tetek bengek agar bisa menghindari manusia-manusia badut pencuri untung itu…” (h. 103).

Harapan, selalu ada untuk orang-orang yang senantiasa yakin bahwa masih ada hari esok yang lebih baik, bahwa akan ada pagi setelah malam, ada pelangi setelah hujan. Kesusahan dan penderitaan hari ini, akan berakhir baik. Dan kesadaran bahwa nasib setiap anak manusia itu tidak ada ditangan manusia itu sendiri, bahwa umur, kesehatan dan kematian itu ada ditangan Tuhan. Kita hanya bisa berserah diri dan selalu berjuang untuk bisa melewati semua cobaanNya. Dan pada akhirnya satu persatu dari kita, harus meninggalkan bumi ini. Sedangkan satu persatu juga anak manusia terlahir di dunia ini. Karena dunia ini bukan pasar malam, dimana orang terlahir ramai-ramai, dan meninggal beramai-ramai. Selesai.