Belakangan ini, ada hal yang cukup mengganggu dan sering kali muncul dan berkutat didalam alam fikiran. Tentang bagaimana kita memiliki penilaian tentang diri sendiri, jalan hidup sendiri, dan bagaimana mengatasi masalahnya sendiri. Betapa panjangnya proses yang telah dijalani oleh setiap orang hingga pada akhirnya mereka memiliki karakteristik yang khas dan menentukan prinsip tentang semua hal itu di dalam benak kepala mereka. Kemudian, menjelma menjadi peran dan memiliki dampak yang cukup signifikan dalam diri mereka. Tentanf bagaimana mereka menjalani hidup, bekerja, mengatur emosi, keuangan dan peran lainnya yang mereka miliki didalam aktifitas keseharian.

Jika kita telusuri ke dalam diri kita sendiri, akan kita temui bahwa prinsip itu berasal dari narasi-narasi yang kita ciptakan tentang diri kita. Dimulai Jika kita terbiasa memupuk narasi-narasi yang positif seperti misalnya, “Saya adalah orang yang bertanggung jawab terhadap hidup saya, maka saya akan berjuang untuk apa-apa yang baik bagi hidup saya.” maka tentu warna keseharian kita akan dipenuhi dengan warna-warna perjuangan. Bahkan karena narasi itupun, kita tidak akan merelakan satu hari sekalipun berlalu tanpa berjuang.

Namun sebaliknya, jika dari awal kita terbiasa memupuk narasi-narasi yang negatif atas diri kita, maka itulah pula yang akan menjadi warna pada keseharian kita. Seperti misalnya, ketika kita mengatakan kepada diri kita sendiri, “Saya ini kotor dan tidak lagi berharga. Saya tidak pantas mendapatkan kebaikan dan kasih sayang dari orang lain. Saya tidak layak untuk dicintai, tidak ada satupun yang mau dan menerima saya dsbnya" bisa dibayangkan, sekiranya apa yang kemudian terjadi pada hari-hari orang tersebut? Kemungkinan besar, ia akan diliputi oleh perasaan bersalah, tidak semangat, tidak produktif, terus-menerus menyalahkan dirinya atas masa lalunya, hidupnya dan juga orang disekitarnya.

Memang benar adanya, narasi-narasi itu harus sepatutnya kita berhati-hati. Sebab dari mulai ia terbesit didalam pikiranmu, kelak itu akan menjadi ucapanmu; Berhati-hatilah dengan ucapanmu itu, sebab itu akan menjadi tindakanmu; Berhati-hatilah dengan tindakanmu, sebab itu akan menjadi kebiasaanmu; Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu, sebab itu akan menjadi karaktermu dan; Berhati-hatilah dengan karaktermu karena ia akan menjadi takdirmu. Kalimat yang tidak asing kita dengar Bukan? Nyatanya semua narasi-narasi itu kelak akan menjadi personal branding atau pembentuk imej dan persepsi bagi seseorang dalam menjalani hidup juga kesan akan dirinya bagi orang lain karena itu akan menjadi sebuah karakter. Ringkasnya, adanya stigma berangkat dan berawal dari sebuah pola pikir seseorang.

“Traumatic experiences profoundly affect us in deeply personal ways, because they make us feel out of control in this world, feel unsafe with others, and even unsafe with ourselves.” — Beglau, PsyD

Maka berhati-hatilah dengan pikiranmu, karena ia akan menjadi ucapanmu; Berhati-hatilah dengan ucapanmu karena ia akan menjadi tindakanmu; Berhati-hatilah dengan tindakanmu karena ia akan menjadi kebiasaanmu; Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu karena ia akan menjadi karaktermu dan; Berhati-hatilah dengan karaktermu karena ia akan menjadi takdirmu. Sebab, semua itu akan menjadi personal branding atau pembentuk imej dan persepsi bagi seseorang terhadap orang lain karena ia akan menjadi sebuah karakter. Ringkasnya, adanya stigma yang berangkat dan berawal dari sebuah pola pikir seseorang untuk menjalani hidup dan menyikapi kehidupannya. 

Lantas, bagaimana dengan dirimu?

Semoga saja narasi-narasi yang kamu miliki di kepalamu tentang diri dan hidupmu saat ini dapat menumbuhkan dan membawa nilai positif bukan hanya untuk diri sendiri, juga untuk orang disekitarmu.