Senja, Hujan dan Jatuh Cinta

Semenjak kejadian beberapa waktu silam, saat Senja akhirnya memutuskan untuk menjauh dan meninggalkan Fajar. Rasa sakit dan kecewa yang ia lalui telah mengajarkan arti kedewasaan pada dirinya. Dan kini, rasa itu mengajarkan hal sebaliknya. Membuka hati. Seperti sebuah pepatah mati satu tumbuh seribu, Senja percaya akan hal itu. Perlahan namun pasti, Senja mulai kembali berani untuk membuka dirinya, setelah tahu bagaimana perasaan itu hadir tapi tak disambut baik oleh yang dituju, dari sana timbul secercah harapan bahwa Senja ingin lebih mengenal lebih jauh tentang apa itu jatuh cinta dan bagaimana ia dapat mencintai prosesnya tanpa ada yang harus disesalkan. Termasuk juga agar tak ada lagi kegagalan karena tak ada keberanian untuk mengungkapkan kedepannya.  

Pada sore itu, hujan turun membasahi bumi dengan membawa kesejukannya bagi seluruh makhluk yang ada, menciptakan beberapa suara percikan yang terasa menyejukan. Disaat yang sama Senja merasa jadi lebih tenang, setelah mengetahui hujan turun dirinya seakan tak ingin beranjak maupun melewatkan momen tersebut sedetikpun. Entah seperti ada magnet apa yang dibawa hujan kala turun, karena mampu membuat hari-hari Senja yang kelam menjadi indah, yang indah menjadi lebih indah, begitu pula seterusnya. Mengukir senyuman tepat diwajahnya.

Senja saat itu sedang duduk di balkon rumah bersama penyemangat hidupnya, sosok yang telah membesarkannya selama ini, penuh perhatian dan mengajarkan arti kasih sayang tanpa batas yang sesungguhnya. Dia memanggilnya Ibu, orang terdekat yang selalu menginginkan yang terbaik untuk putrinya itu. Juga memastikan agar kehidupan Senja setelah ini baik-baik saja.Walau ibunya tahu pasti tak akan mudah bagi Senja dan selalu ada masalah yang sementara singgah menghampirinya. Dan benar saja, Senja memulai memberanikan dirinya bertanya tentang suatu hal yang sudah lama sekali ingin dirinya tanyakan kepada Ibu. Seperti bagaimana kisah hidupnya selama ini juga perjuangan akan cinta yang telah dilalui disaat sedang membesarkan Senja. Kalimat itu pun akhirnya terlontarkan dari bibir Senja, membuat Ibu sedikit membuat kaget akan hal yang didengarnya itu dari putri kesayangannya.

“Bu, apa ibu pernah jatuh cinta? seperti apa rasanya?” Kataku
Ibu hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaanku secara langsung.

Ibu, kenapa diam. Bagaimana Aku dapat mengetahui saat aku sedang jatuh cinta?” Lanjutku

Disaat Senja mulai penasaran menunggu jawaban dari Ibunya, tiba-tiba Ibu meminta Senja untuk meletakkan kepalanya diatas pangkuan Ibu. Sungguh suatu hal yang tak biasa dan Senja hanya bisa langsung menuruti apa yang ibunya katakan. Tangan halusnya ibu pun langsung membelai rambut Senja juga sebuah kecupan hangat seakan memberikan kekuatan untuk anak remajanya yang sedang tumbuh dewasa ini. Mengelus kepala Senja yang membuat dirinya ingin segera terlelap, melupakan sejenak tentang hal-hal yang mengganggu fikiran juga tak menenangkan hati. Kemudian ibu pun mulai memberikan jawaban yang telah dinantikan oleh Senja.
“Senjaa, Ibu pernah mengalaminya. Dan setiap manusia pasti pernah merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta, cuman hanya saja banyak dari kita yang berbeda-beda dalam menyikapinya. Yang harus kita lakukan adalah bagaimana mengendalikan rasa cinta kita terhadap seseorang itu agar tidak melebihi rasa cinta kepada sang Rabbi.” jawab Ibu.

Senja pun diam tak bergeming. Ya faktanya memang jatuh cinta itu memang indah, apalagi di usia Senja yang tahun ini sudah memasuki angka kepala ‘dua’ juga tentang resiko hidup ditengah-tengah kota metropolitan, ada budaya dinegerinya bahwa setiap malam minggu sudah menjadi aktivitas rutin bagi setiap remaja untuk pergi keluar dengan pasangannya, walaupun belum ada ikatan serius juga. Tapi bagi Senja, melihat fenomena itu Dia jadi terfikirkan bagaimana rasanya bila memiliki pasangan. Karena bagaimanapun, Dia belum pernah sama sekali merasakan aktivitas atau seperti apa pacaran itu dan terkadang penasaran ketika melihat teman sebayanya telah mempunyai pasangan.Senja yang sempat terlamun itupun kemudian bangun dari pangkuan ibunya, lalu menatapnya dengan penuh cemas juga rasa penasaran. 

“Senja saat ini sedang merasakannya, bu. Tapi, mendengar ucapan ibu, Senja jadi khawatir bagaimana dapat menyikapi rasa itu. Agar rasa ini tetap pada tempatnya dan tidak melebihi rasa cinta kita kepada sang Pencipta. Kasih tau Senja, bu” kataku merengkek pada ibu.

Padahal Senjapun sudah tahu, bahwa ibunya bisa dbilang tidak terlalu berpengalaman dalam masalah jatuh cinta pun soal percintaan tersebut. Karena bagaimanapun, perjalanan asmara ibu terkesan sangat lurus. Waktu itu, ibu menikah dengan ayah karena dijodohkan oleh kedua orangtua mereka. Dan sebelum bertemu dengan ayah, ibu pun juga belum pernah merasakan jatuh cinta kepada pria lain, begitu seingatnya dulu kala ibu bercerita kepada Senja Tapi, entah kenapa kali ini Senja terlihat yakin bahwa ibunya akan mampu menjawab kegelisahan yang tengah dirasakan Senja.

“Senja sayang, dalam dunia ini banyak sekali godaan. Bisa jadi itu dari setan dan bisa kapanpun saja datang kepada kita, setan itu terampil dalam menyelusup ke dalam hati kita, termasuk juga tentang perasaan yang saat ini kita rasakan. Dan bisa jadi, yang kita kira sedang jatuh cinta dan hati seperti bunga itu adalah mainan dari setan, jika hawa nafsu yang berada di depannya." kata Ibu

"Barangkali, coba dirasakan lagi, jika perasaan yang kamu sedang miliki saat ini terhadap seseorang itu mampu mengantarkanmu pada kebaikan dan ketaatan kepada sang pencipta, seharusnya kamu tidak akan menjadikan pacaran sebagai solusinya dan angan-angan itu sebagai jalan ikhtiar. Coba lagi fahami bagaimana perasaan itu mengalir darimu ke seseorang itu. Bila kehadirannya membuat kamu lebih banyak mengingat dia daripada mengingat Allah, maka kamu harus waspada, nak. Karena cinta yang datang dari Allah akan menuntun kita kepada Allah, bukan kepada orang yang hanya kita tuju.” lanjut Ibu.

Senja pun tertegun setelah dirinya mendengar nasihat dari Ibu. Senja yang berada dipangkuan ibunya saat itu pun bangkit dan duduk disampingnya sambil menatap penuh harap yang sangat terlihat jelas diwajahnya. Seperti yang kubilang, Senja sangat tidak pandai untuk berbohong, juga untuk menyembunyikan segala perasaan yang dimilikinya. Tanpa sadar Senja juga mengigit bagian bibir bawahnya dengan penuh kecemasan. Senja yakin, ibunya akan faham melihat bagaimana perubahan yang terjadi ekspresi pada wajah anaknya. Anak yang ia lahirkan dengan warna senja yang merah, walau tidak semerah darah yang keluar dari rahimnya saat melahirkan Senja dua dekade lalu. Kemudian, senyum simpul diwajah Ibu juga kedua tangannya menggenggam erat tangan Senja sambil berkata:

“Sayanggg, sebesar apapun perasaan yang dimiliki kamu kepadanya, tolong jangan pernah menjadikan dirinya sebagai tujuan utama dalam urusan ibadahmu. Jangan sampai kamu mengingatnya lebih banyak daripada ingatanmu kepada Allah dan Rasul-Nya. Cukup bawa saja ia kedalam doa-doa mu diatas sajadah juga dipertiga malammu. Pasrahkan saja semuanya agar Allah berikan yang terbaik” Ibu mengakhiri perbincangan sore itu.

Senja kemudian memeluk ibu dan mulai memahami secara jelas bagaimana maksud dari nasihat yang Ibunya telah sampaikan. Jawaban yang begitu menenangkan dan jelas terlihat bagaimana senja seharusnya bersikap terhadap rasa dan orang itu. Semenjak dari itu, Senja lebih berhati-hati lagi terhadap jatuh cinta , terutama sebelum akad karena khawatir terjebak pada perasaan sesama hambaNya yang lebih besar dari pada sang Penciptanya. Senja kini sepenuhnya telah tumbuh menjadi gadis yang dewasa dan juga shalihah.