Mari kita awali tulisan ini dengan niat yang bulat dan semangat yang utuh. Karena bagaimanapun, segala hal yang akan kita mulai harus didasari oleh landasan dan juga kemauan agar segala hal tujuan dapat kita capai. Seperti menulis ini, menuangkan ide dan meluangkan waktu dikala tugas merentet dan deadline yang semakin mendekat. Maka dari itu, mari kita mulai cerita perjalanan ini.

Kalau difikir-fikir sih ini kayaknya rentetan dari tahun 2019 deh, ketika ada daftar keinginan (wishlist) ingin berkunjung ke pedalaman suku Baduy, entah seperti ada rasa ketertarikan sendiri daripada nanjak kepuncak gunung, atau pergi berlibur keluar negeri. Padahal saat itu masih belum tahu akan seperti apa kesulitan dan tantangan yang akan ditempu saat dilokasi, yang terpenting saat itu, bisa untuk nyari tahu sekaligus belajar arti kehidupan dari perspektif penduduk disana.

Oiya sebelum masuk keceritanya, bolehlah ku berbagi info seputar Suku Baduy dulu ya, barangkali setelah diceritakan jadi tertarik untuk berkunjung. Karena bagaimanapun, apa yang dilihat dan menarik bagi mata bisa langsung jadi pemantik masuk kehati dan tersimpan dalam memori. Semoga aja cerita ini jadi salah satu sekuel inspirasi buat lebih bersyukur dan sungguh-sungguh menjalani hidup kita ya.

Diawali dengan namanya, sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, katanya sih berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agak mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lainnya, karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (orang dari Kampung Cibeo). 

Kalau menurut Sejarahnya sih, asal usul Suku Baduy ini ada kaitannya dengan Kerajaan Sunda (Pajajaran) di abad 15 dan 16. Saat itu, kerajaan Pajajaran dimana yang berlokasi di Bogor memiliki pelabuhan dagang besar di Banten, termasuk sumber daya alamnya perlu diamankan. Nah, tugas pengamanan ini diamanahkan kepada pasukan khusus penjaga alam untuk mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan ini yang diyakini sebagai cikal bakal suku Baduy. Ada juga yang mempercayai awal kebedaraan suku Baduy, merupakan sisa-sisa pasukan Pajajaran yang setia pada Prabu Siliwangi. Mereka melarikan diri dari kejaran pasukan Sultan Banten dan Cirebon menarik sih.

(Sumber: Google Maps)
Faktanya memang dari segi kemampuan fisik dan cara Suku Baduy mengelola kekayaan alam akan dibuktikan dalam kelihaian bangunan lumbung-lumbung yang bertebaran disepanjang jalan dari Baduy luar ke Dalam gais untuk menyimpan hasil panen tersebut. Hasil panennya kebanyakan berupa beras (padi huma) dan duren (kadu). Nah hasil panennya itu didistribusikan ini diatur, diijinkan dan dikepalai oleh Kepala Desa (Jaro) kalau di Baduy luar, beda lagi kalau di Baduy Dalam diatur oleh Kepala Adat (Pu'un), yang bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan nenek moyangnya. Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya.  termasuk untuk merantau dan ikut kegiatan diperkotaan.


Keberadaan orang Baduy tidak lepas dari tradisi sebagai pikukuhnya. Untuk menjaga pikukuh tersebut dan pengendalian agar tetap terpelihara maka dilaksanakan aturan untuk mempertahankannya yang disebut Buyut (dalam bahasa Indonesia : tabu dan dalam bahasa Sunda : pamali). Buyut adalah larangan bagi masyarakat Baduy.


Inti dari pikukuh Baduy itu adalah , Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung (segala sesuatu yang ada dalam kehidupan tidak boleh dikurang maupun ditambah, harus tetap utuh). 
Dimana bahwa Buyut dalam kehidupan mereka terbagi menjadi 3 yaitu :

  1. Tabu untuk melindungi kemurnian sukma (manusia) : Tabu untuk melindungi kemurnian sukma adalah perlindungan terhadap roh/jiwa, karena sukma adalah roh manusia yang diturunkan ke alam dunia dalam keadaan bersih dan suci. Jika orang baduy sebagai pemilik sukma meninggal maka sukma yang kembali ke tempat asal harus tetap bersih dan suci. 
  2. Tabu untuk melindungi kemurnian mandalaTabu untuk melindungi kemurnian mandala adalah penghormatan orang Baduy terhadap Desa Kanekes karena dianggap inti jagat (pusat alam semesta) sebagai tempat diturunkannya Nabi Adam ke dunia. Desa Kanekes harus dijaga kemurniannya melalui larangan agar tak sembarang orang memasukinya. Kanekes sebagai mandala memiliki tingkat kesucian berbeda, seperti Tanah Sasaka, Tanah Tangtu dan Tanah Huma
  3. Tabu untuk melindungi kemurnian tradisiTabu untuk melindungi kemurnian tradisi merupakan perlindungan kebiasaan yang ditetapkan dan diturunkan atas kandungan nilai kehidupan yang terbukti telah menyelamatkan perjalanan hidup mereka. Keberadaan tradisi sebagai titipan karuhun (leluhur) tetap dipelihara dan dianut seperti sekarang. Pelanggaran terhadap pikukuh adalah hal kotor yang harus “disertu” (dibersihkan). 

Penanaman nilai-nilai kehidupan termasuk pikukuh dilakukan dengan jalan memperkenalkan hal itu kepada anak. Orang tua wajib memberitahu Buyut pada anaknya sejak ia mengenal lingkungan, agar tidak disalahkan kokolot. Menurut pandangan mereka, jika anak melanggar pikukuh maka orang tuanyalah yang bersalah karena dianggap tidak dapat mendidiknya sesuai dengan pikukuh. 


Mengenai Ajaran Agama Suku Baduy
Menurut Garna dalam Koentjaraningrat (1993:139), dasar religi orang Baduy ialah penghormatan ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa, Batara Tunggal. Keyakinan mereka itu disebut Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep- konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya ditujukan kepada pikukuh Baduy untuk bekerja menurut alur itu dalam mensejahterakan kehidupan Baduydan dunia ramai. 
Perjalanan hidup manusia di dunia fana menurut Sunda Wiwitan tidak terpisah dari wadah „tiga buana‟, yaitu : Buana Nyungcung sama dengan Buana Luhur atau Ambu Luhur; Buana Panca Tengah sama dengan Buana Tengah atau Ambu Tengah; Buana Larang sama dengan Buana Handap atau Ambu Handap. Manusia yang hidup mengembara di Buana Panca Tengah suatu saat akan menemui Buana Akhir yakni Buana Larang. Sedangkan proses kelahirannya ditentukan di Buana Luhur.  Dalam pelaksanaan ajaran Sunda Wiwitan di kanekes seperti tidak berpatokan pada hal-hal tertentu, karena tidak memiliki kitab suci sebagaimana agama-agama lain. Kitab suci mereka terpatri dalam “pikukuh” yang didalamnya sarat dengan berbagai ajaran Sunda Wiwitan (Djatisunda, 1992:29).
Lanjut ke letak geografisnya, suku Baduy ini terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kota Lebak, Provinsi Banten gais. Mereka bermukim tepat di bawah kaki pegunungan Kendeng yang terletak pada koordinat 6°27’27” 106°4’55” BT dengan ketinggian berkisar 300 – 600m di atas permukaan laut (DPL) yang mempunyai topografi berbukit dan bergelombang juga dengan kemiringan bukit 45derajat (ini beneran) terus suhu rata-rata 20derajat.  (Permana, 2001) 

Sekarang masuk ke sosial masyarakatnya, secara umum masyarakat Kanekes (Baduy) terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka. Nah baduy ini ada 2 jenis gais, perhatikan dan simak perbedaan ketiganya ya:

1. Baduy Dalam (Kanekes Dalam), Kelompok tangtu adalah kelompok yang paling ketat mengikuti adat dari Pu'un, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik, yang mana pengunjung luar selain turis asing boleh datang ketiga desa ini. Alasan utamanya karena terkendala di bahasa (butuh penerjemah) dan sikap dari turis ini kurang disegani oleh masyarakat Baduy itu sendiri (susah diatur). 
Ciri khas Orang Baduy Dalam
  • Pakaiannya berwarna putih alami dan hitam serta memakai ikat kepala putih
  • Sering membawa tas kain polos berwarna putih
  • Belum menggunakan teknologi seperti gawai maupun komputer
  • Tidak menaiki transportasi untuk keluar kota, semua dilakukan dengan berjalan kaki
  • Berbahasa sunda halus, sopan dan cenderung berbadan kekar
  • Biasanya kalau pergi membawa aksesoris (gelang, gelas dll) maupun hasil alam (madu, duren dll) untuk diperjualbelikan masyarakat umum
  • Beragama sundawiwitan
  • Berpendidikan rendah SD-SMP
  • Menikah dengan gadis sekampung, dijodohkan ketika berusia 14 tahun
  • Masih terbatas untuk menulis dan membaca
  • Suka bertani dan tanpa memakai pupuk juga pestisida
  • Untuk mandi menggunakan bahan alam (air gunung dan racikan dedaunan)
2. Baduy Luar (Kanekes Luar), yang biasanya tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Dahulunya Baduy Luar ini adalah warga Baduy dalam (Kanekes Luar) akan tetapi  karena ada beberapa hal yang akhirnya menyebabkan mereka dikeluarkannya darisana, berikut alasan diantaranya:
  • Mereka telah melanggar adat yang berlaku di Suku Baduy dalam
  • Berkeinginan untuk keluar (ijin pindah) dari Kanekes Dalam
  • Menikah dengan anggota Kanekes Luar (masyarakat umum)
Ciri-ciri masyarakat orang Baduy Luar
  • Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. 
  • Mereka kebanyakan telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, gawai hingga komputer. Meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Akan tetapi ada sebagian dari mereka yang mencoba dan berani menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan oleh pengawas dari Kanekes Dalam
  • Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam. Semua peralatan itu dibeli bukan buatan sendiri, karena dinilai dapat merusak alam. 
  • Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci.
  • Ada juga yang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
  • Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.



Secara garis besar, masyarakat Kanekes ini memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka secara mandiri berdikari dengan cara bercocok tanam dan berladang. Selain itu mereka menjual hasil kerajinan seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu), tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung, golok, parang dan berburu. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. 
Hasil gambar untuk seserahan baduy gubernur banten

Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah.  



PENUTUP 
Masyarakat Baduy di satu pihak merupakan masyarakat yang masih kuat memegang adat dan tradisi nenek moyangnya, tapi di lain pihak mereka tidak sama sekali mengisolasi diri dari pergaulan dengan masyarakat di luar adat mereka. Seperti suatu kelompok sosial pada umumnya, Baduypun “tersentuh” berbagai perubahan.  Dalam sistem sosial suatu masyarakat dengan bagian-bagiannya yang satu sama lain saling berkaitan dan memiliki fungsinya masing-masing dalam keseluruhan sistem tersebut, biasanya ketidakberfungsian satu bagian akan berakibat pada bagian lainnya. Sistem sosial masyarakat Baduy malahan menyediakan paroh masyarakat Panamping yang nampaknya diberi  kemampuan oleh mekanisme budaya mereka untuk menyerap secara selektif pengaruh luar atau unsur baru. Dengan demikian, hakekat yang inti, pikukuh Baduy kalaupun tersentuh pengaruh luar tetap mampu bertahan dan mengembangkannya dalam kehidupan mereka.

DOKUMENTASI PERJALANAN
Nah, sekarang saya akan memulai perjalanan ini. Dimulai dari stasiun Tanah Abang. Bila ingin ke arah Baduy kita harus menggunakan kereta api lokal. Intinya darimanapun arah kalian yang masih dalam rute Commuter Line (CL) berhentilah di Stasiun Tanah Abang. Dari stasiun Tanah Abang, Naik kereta kearah rangkas bitung. Sesampainya di stasiun Rangkasbitung, beristirahat sejenak sambil membeli barang dan makanan untuk bekal makanan selama kami di baduy nanti setelahnya melanjutkan perjalanan dengan mobil angkot ke Terminal Awa baru lanjut naik mobil berbentuk mirip Elf menuju terminal Ciboleger. Bila beruntung, diperjalanan kalian akan dijumpai penumpang dari Baduy luar.
Setelah sampai disana, Pemandangann pertama yang dilihat adalah adanya sebuah tugu selamat datang yang digambarkan dua orang dewasa dan dua orang anak. Seperti slogan KB (Keluarga berencana) yang dulu dengan taglinenya "2 anak Cukup". Suasana Ciboleger lebih nampak seperti sebuah tempat transisi bagi saya. Disinilah gerbang yang akan memisahkan modernisasi dengan dunia baduy yang ‘senyap’. Di Ciboleger dapat ditemukan banyak tempat penjual cinderamata khas Baduy. Baik dari pakaian, kain, tas, hiasan, gantungan kunci, madu hingga replika rumah Baduy. Selain itu ada beberapa rumah makan sederhana. Karena akan melakukan perjalanan jalan kaki selama 5 jam maka saya mengisi perut dengan makanan berkalori.
Nah, sebelum memulai perjalanan, Kami semua berfoto bersama didepan Tugu Selamat Datang Ciboleger. Bergaya sebelum memulai perjalanan panjang yang tak akan pernah saya lupakan.








 

 

 

 



 

















Untuk melihat dokumentasi video kami selama perjalanan ke Baduy, bisa klik disini