Siapa yang tak asing dengan fenomena generasi micin dan milenial belakangan ini? Kayaknya hampir sebagian dari pembaca ini pun mungkin termasuk salah satu generasi tersebut. Tapi sebenernya yang harus dipertanyakan, kenapa sih bisa muncul fenomena dan istilah tersebut dan sampai ditelinga bahkan dipercakapan keseharian kita?

Sebelum membahas lebih jauh, kita coba analogikan terlebih dahulu ‘sosok’ micin dalam artian sebenarnya. Micin (atau bahasa kerennya monosodium glutamat alias MSG) merupakan senjata utama bagi kebanyakan pedagang kuliner mulai dari abang tukang bakso sampai abang tukang sempol. Micin memiliki peran yang sangat besar dalam proses memasak sebuah makanan. Karena jika misalnya semangkuk soto rasanya lezat, maka secara logika akan ada banyak yang membeli soto. Apabila banyak yang membeli soto, secara otomatis abang tukang soto akan memperoleh penghasilan yang banyak. Dan semakin banyak penghasilan yang dimiliki abang tukang soto maka dengan mudah dapat menyusul tukang bubur yang sudah naik haji terlebih dahulu. 

*krik-krik*

Baik, sekarang masuk ke hal yang lebih filosofis. Generasi millennial saat ini (pada tahun 2017) adalah mereka yang berusia 17-36 tahun; mereka yang kini berperan sebagai mahasiswa, early jobber, dan orangtua, dapat diartikan adalah mereka yang sudah melek akan pengetahuan seks dan rupanya sangat terbuka dalam mengekspresikan kebebasan seksualnya. Pada forum-forum khusus atau website yang belum terkena sensor internet positif sangat banyak video masturbasi atau onani yang mirisnya kebanyakan dilakukan oleh remaja perempuan daripada laki-laki.


Memang betul, pendidikan seks itu penting, sebab manusia sebagai spesies primata paling kompleks dan maju membutuhkan kenyamanan atau standar bercinta yang lebih tinggi seperti keintiman melalui rayuan verbal dan sentuhan penuh kasih sayang. Namun kehadiran situs pornografi dan film pornografi cenderung menyesatkan karena menurut riset kebanyakan para aktornya banyak melakukan kebohongan orgasme dan berbagai fantasi yang membahayakan kesehatan seperti pencukuran total terhadap bulu rambut di area organ intim atau memasukkan benda tak lazim kedalam organ intim.
Yang membuat miris pula adalah, pemberian edukasi mengenai pendidikan seks di Indonesia faktanya sekarang hanya disisipkan dalam pelajaran biologi secara tersirat. Saya kira efeknya sangat membahayakan kalau hanya ditekankan soal biologi saja, sebab nantinya persepsi anak muda bisa salah bahwa spesies manusia dapat berhubungan seks dengan bebas layaknya hewan. Atau dapat mencoba hal-hal baru tanpa adanya kematangan dan kedewasaan dalam berfikir dan mengelola nafsu (libido).
Dengan kondisi demikian, seharusnya generasi milenial ini nantinya akan berperan besar pada era bonus demografi. Generasi ini yang akan memegang kendali atas roda pembangunan khususnya di bidang perekonomian yang diharapkan akan mampu membawa bangsa Indonesia menuju ke arah pembangunan yang lebih maju dan dinamis. Terlebih lagi jika melihat kondisi Indonesia yang sudah memasuki MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), artinya persaingan tenaga kerja bukan hanya antar warga negara Indonesia saja, melainkan juga dengan warga negara asing, maka mengembangkan kompetensi, meningkatkan produktifitas, dan mengedukasi tenaga kerja lokal menjadi mutlak harus dipenuhi.
Pada tahun 2020, tahun dimulainya bonus demografi, generasi millennial berada pada rentang usia 20 tahun hingga 40 tahun. Usia tersebut adalah usia produktif yang akan menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Tiga tahun menjelang era tersebut terjadi (2017), jumlah generasi milenial sudah dominan dibandingkan generasi lainnya. Menurut Susenas 2017, jumlah generasi milenial mencapai sekitar 88 juta jiwa atau 33,75 persen dari total penduduk Indonesia. Proporsi tersebut lebih besar dari proporsi generasi sebelumnya seperti generasi X yang (25,74 persen) maupun generasi baby boom+veteran (11,27 persen). Demikian juga dengan jumlah generasi Z baru mencapai sekitar 29,23 persen.
 
Maka dari itu, generasi milenial menjadi modal besar untuk mewujudkan kemandirian bangsa dalam segala aspek. Namun bila melihat kondisi generasi milenial kini, apa dan bagaimana  cara yang tepat untuk mempersiapkan mereka memimpin bangsa indonesia kedepannya?
Pertama, kita harus mengetahui ciri dan karakter generasi milenial baik di perkotaan maupun di pedesaan. Setidaknya, ada tiga ciri utama yang dimilki generasi milenial perkotaan, yaitu confidence; mereka ini adalah orang yang sangat percaya diri, berani mengemukakan pendapat, dan tidak sungkan-sungkan berdebat di depan publik. Kedua, creative; mereka adalah orang yang biasa berpikir out of the box, kaya akan ide dan gagasan, serta mampu mengomunikasikan ide dan gagasan itu dengan cemerlang. Ketiga, connected; yaitu pribadi-pribadi yang pandai bersosialisasi terutama dalam komunitas yang mereka ikuti, mereka juga aktif berselancar di media sosial dan internet. 
Sedangkan, generasi milenial di perdesaan tidak terlalu terobsesi dengan ponselnya. Karena alasan  keterbatasan ekonomi, merk gadgetpun tidak menjadi prioritas. Dalam menanggapi isu-isu yang terdapat di media sosial juga lebih terlihat pasif tidak seantusias generasi milenial perkotaan. Beberapa generasi milenial perdesaan, disibukkan dengan membantu keluarga mendapatkan penghasilan. Meskipun dipandang bukan lapangan pekerjaan yang menarik, generasi milenial di pedesaan lebih cenderung menyibukkan diri dengan aktivitas ekonomi konvensional yang berbau pertanian dan kesadaran akan lingkungan lebih unggul daripada diperkotaan.
Kedua, adalah jenjang pendidikan generasi milenial dibanding dengan generasi sebelumnya. Generasi milenial -termasuk berkat program belajar 12 tahun- menjadikan tingkat pendidikan bagi kaum milenial menjadi  lebih baik, termasuk beberapa indeks seperti; angka melek huruf dan rata-rata sekolah. Sedangkan dalam segi kesehatan, kualitas dan ketahanan fisik generasi milenial lebih baik dibanding dengan generasi sebelumnya. Hal ini termasuk berkat adanya program sembako murah dan bergizi yang diadakan pemerintah untuk memberikan asupan nutrisi kepada calon-calon pemimpin bangsa, dengan beberapa indeks seperti: angka kesakitan dan rata-rata sakit dalam sebulan suntuk yang jelas sangat mengganggu kreatifitas dan produktifitas masing-masing generasi.
Ketiga, masuk kedalam ruang lingkup pergaulan dan pengaruh globalisasi terhadap generasi milenial. Faktanya 6 dari 100 milenial baik di perkotaan maupun dipedesaan diketahui suka merokok dan setelah diselidiki ternyata pengaruhnya berasal dari para influencer-influencer online. Ditambah generasi milenial juga rentan terhadap pengaruh narkoba karena adanya globalisasi dan kemudahan akses informasi ini. 
Jumlah penyalahgunaan narkoba tahun 2017 umumnya didominasi oleh penduduk kelompok pekerja yang mencapai sekitar 59 persen, kemudian diikuti pelajar 24 persen, dan sisanya 17 persen merupakan penduduk umum lainnya. Ini menunjukkan bahwa penduduk usia produktif indonesia yang mayoritas dihuni oleh generasi milenial sangat kondisinya sangat rentan terhadap narkoba, bahkan yang berstatus generasi milenial yang berstatus pelajar kemungkinan juga cukup tinggi.
Ditambah lagi, generasi milenial banyak yang menuntut hidupnya sama dengan influencer yang diikuti di kehidupan dunia maya. Tuntutan pergaulan yang tinggi lewat selera fashion yang mengikuti mode, mengikuti tren masa kini agar tidak ketinggalan zaman hingga kebiasaan hedonis yang menghambur-hamburkan uang turut mewarnai gaya hidup kaum milenial.

Banyak dari generasi milenial yang menderita gangguan mental emosional ringan seperti cemas dan depresi yang bersumber dari kehidupan dunia mayanya. Banyak dari generasi milenial yang tidak menyadarinya karena awal dari gangguan emosional mental ringan cenderung seperti penyakit fisik biasa, tetapi terus berulang dalam jangka waktu tertentu dan tidak bisa disembuhkan dengan obat-obatan biasa. Gangguan emosional mental ringan yang tidak lekas diatasi akan menimbulkan masalah sosial yang serius seperti bullying, tawuran, kekerasan dalam rumah tangga, hingga bunuh diri. 

Keempat, penggunaan teknologi yang berlebihan pada generasi milenial. Dari fakta yang disajikan dibawah ini mayoritas alasan generasi milenial dalam mengakses internet adalah untuk mengakses media sosial, termasuk didalamnya adalah Facebook, twitter, whatsapp dan berbagai platform sosial media lainnya. Namun media sosial di sini belum dapat disimpulkan apakah sesuatu yang baik ataupun buruk, karena media sosial sekarang dapat berisikan informasi yang berguna. Sekali lagi tergantung pada kebijakan dari pengguna. Bimbingan yang baik bagi generasi milenial yang notabene adalah generasi muda sangatlah dibutuhkan dalam memfilter informasi yang ada pada media sosial. Dengan bimbingan yang tepat, media sosial secara khusus dan internet secara umum akan mampu memberikan pengaruh kuat untuk menjadikan para generasi muda untuk mengembangkan dirinya dan berkontribusi pada umat manusia.